
Sumber Ilustrasi: istockphoto.com/id/portfolio/howtogoto
Pernahkah teman-teman mendengar perkataan “ngapain sekolah tinggi-tinggi? perempuan ujung-ujungnya cuma di dapur” yang mungkin dari dulu hingga bahkan saat ini masih kerap kali terdengar di telinga kita. Yap! kalimat tersebut tidak lain ditujukan untuk kaum perempuan. Ungkapan tersebut seolah sudah menjadi suatu budaya dan nilai patriarki yang sudah tertanam, bahwa perempuan hanya memiliki peran dalam seksualitas dan dapur saja. Hal ini tentu merugikan kaum perempuan karena terbatasnya ruang gerak untuk aktivitas dan kreativitas, bahkan berdampak pada kesejahteraan psikologis bagi kaum perempuan.
Dalam sejarah Indonesia, kesetaraan hak perempuan di atas laki-laki pada masa lalu dipelopori dan diperjuangkan oleh sosok wanita hebat yaitu Raden Ajeng Kartini. Beliau memperjuangkan atas hak-hak kaum wanita untuk dapat lebih berdaya, berdampak, dan mengambil peran utamanya dalam hal pendidikan. Pengorbanannya terus dikenang hingga saat ini, dan selalu diperingati sebagai Hari Kartini. Menapak tilas sejarah Ibu Kartini dan perempuan, tentu tak lepas dari topik pembahasan mengenai gender. Istilah Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Pendapat dari beberapa ahli mengenai Gender merujuk pada perbedaan karakter antara laki-laki dan perempuan dalam konstruksi sosial budaya, yang berkaitan dengan sifat, status, posisi, dan perannya dalam masyarakat. Singkatnya gender merupakan jenis kelamin sosial yang berkembang di Masyarakat.
Hadirnya stigma mengenai gender memunculkan ekspektasi bagaimana seseorang seharusnya bertindak. Misalnya laki-laki dituntut untuk kuat dan tidak boleh menangis atau perempuan yang dituntut mengasuh, merawat, dan hanya berfokus pada pekerjaan rumah. Ekspektasi-ekspektasi seolah harus dipenuhi individu untuk mendapatkan penilaian yang baik di mata masyarakat sehingga mereka harus bertindak dengan cara yang berlawan dengan kepribadian mereka. Perlahan kondisi seperti ini dapat mengganggu kesejahteraan psikologis dan menghambat pertumbuhan diri seseorang. Kondisi ini dapat berdampak pada hilangnya harga diri, kesejahteraan emosional, hingga kecemasan yang dapat menghambat perjalanan hidup seseorang.
Perempuan cenderung mengalami tingkat stres, kecemasan, dan depresi yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki, yang sebagian besar dipengaruhi oleh ketidaksetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan, pekerjaan, dan peran domestik. Tekanan sosial dan harapan budaya terhadap perempuan sering kali menyebabkan beban emosional yang berat, yang berdampak negatif pada kesehatan mental mereka. Sebuah studi menemukan bahwa perempuan dua kali lebih mungkin mengalami gangguan kecemasan dibandingkan laki-laki, yang sebagian besar disebabkan oleh peran gender tradisional dan paparan terhadap kekerasan berbasis gender. Namun, ketika perempuan memperoleh akses terhadap pendidikan, peluang ekonomi, serta ruang untuk membuat keputusan secara mandiri, terdapat penurunan signifikan dalam tingkat stres dan peningkatan kesejahteraan psikologis.
Serupa dengan perempuan, laki-laki juga kerap mengalami tekanan sosial yaitu terkait maskulinitas. Maskulinitas adalah seperangkat norma dan aturan sosial yang memberi tahu laki-laki bagaimana mereka seharusnya berperilaku dalam masyarakat. Maskulinitas mengharuskan laki-laki untuk selalu mandiri, berani, tangguh, dan kuat secara emosional untuk mempertahankan status dan rasa hormat mereka sebagai laki-laki. Tekanan dari norma maskulinitas ini berpotensi memengaruhi kesejahteraan fisik dan mental pria dan semua orang di sekitar mereka. Survei yang dilakukan pada masyarakat umum telah mengungkapkan bahwa mayoritas pria secara mental kesulitan untuk beradaptasi dengan stereotip maskulin di depan umum. Pria yang sangat terpengaruh oleh stereotip ini berisiko lebih tinggi mengalami masalah mental, termasuk kecemasan dan depresi. Mereka juga lebih mungkin melakukan tindakan berbahaya, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, perundungan daring, pelecehan seksual, dan kekerasan terhadap perempuan.
Kepatuhan pada maskulinitas dapat membawa dampak pada kesehatan. Hal ini kemudian mengakibatkan kecenderungan kesehatan mental yang buruk, penggunaan zat terlarang, dan kecenderungan bunuh diri. Ada bukti yang menunjukkan bahwa kemandirian sebagai norma maskulinitas yang vital secara khusus dikaitkan dengan pikiran bunuh diri di kalangan pria Australia. Pria yang mengalami depresi sering kali ingin berbagi kesulitan mereka dengan anggota keluarga atau teman. Namun, mereka mungkin gagal melakukannya karena rasa malu yang muncul akibat keyakinan maskulinitas yang tidak realistis. Kurangnya jaringan dukungan sosial merupakan faktor utama yang menyebabkan tekanan psikologis pada pria.
Menurut dr. Santi Yuliani, MSc, Sp. KJ, ada empat jenis gangguan mental pada pria, yang cukup mendominasi. Diantaranya adalah:
1. Depresi
Depresi pada pria, antara lain ditandai oleh kehilangan energi, perubahan nafsu makan, gangguan tidur (bisa berlebihan, bisa juga kurang dari durasi tidur biasanya), penurunan libido dan kemampuan ereksi, penurunan kemampuan berkonsentrasi, ketidakmampuan membuat keputusan, tidak tenang, dan merasa tidak berguna.
2. Anxiety (Kecemasan)
Kecemasan dapat dicirikan oleh rasa khawatir atau takut berlebihan, panik, tegang, perasaan tidak nyaman, merasa selalu dalam bahaya, merasa gelisah atau tidak dapat duduk tenang, bicara berlebihan dan cepat, sulit fokus dan gampang teralih, takut hilang kendali, takut mati, takut gila, susah tidur, gampang kaget, dan sering mengalami sakit fisik.
3. Schizophrenia
Orang yang mengalami schizophrenia atau gangguan yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berpikir, merasakan, dan berperilaku dengan baik dapat ditandai oleh halusinasi, waham/delusi, kekacauan dalam berpikir, dan kekacauan dalam berperilaku. Serta respons emosional yang ganjil, seperti ekspresi wajah dan nada bicara yang tidak sesuai dengan situasi.
4. Penyalahgunaan Zat
Mereka yang menyalahgunakan zat biasanya menggunakan halusinogen seperti lysergic acid diethylamide (LSD) phencyclidine; relaksan seperti ganja; stimulan macam dextroamphetamin, kokain, methamphetamine (sabu), amphetamin, dan flakka; serta opioid seperti morfin dan heroin.
Mendukung kesetaraan gender dan melepaskan diri dari stereotip maskulin adalah praktik yang harus dipromosikan untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan pria secara keseluruhan. Orang-orang yang hidup dalam masyarakat harus secara kolektif menentang norma-norma maskulinitas yang berbahaya. Penting juga untuk mengembangkan basis data berbasis bukti untuk memberi tahu masyarakat dan pembuat kebijakan tentang dampak berbahaya norma-norma maskulin terhadap kesehatan pria. Norma-norma ini dan dampaknya harus dipertimbangkan saat membuat inisiatif kesehatan dan kesejahteraan.
Kesehatan mental tidak hanya dibutuhkan oleh kaum perempuan dan kaum laki-laki saja. tetapi juga bagi individu dengan identitas gender non-biner. Gender non-biner adalah identitas gender yang tidak sepenuhnya masuk dalam kategori laki-laki atau perempuan. Artinya mereka merasa bahwa dirinya berada di antara dua gender, berada di luar keduanya, atau mengalami perubahan identitas gender dari waktu ke waktu. Individu dengan gender non-biner sangat memungkinkan untuk mengalami krisis identitas, menghadapi stigma sosial, adanya penolakan keluarga, adanya diskriminasi serta hambatan dalam mengakses layanan kesehatan mental yang aman dan inklusif yang ada pada layanan kesehatan, yang pada akhirnya masalah-masalah sosial tersebut berkontribusi pada resiko gangguan mental pada individu non-biner.
Isu untuk kesehatan mental pada komunitas LGBT dilihat dari penelitian terdahulu yang telah dilakukan dan menunjukkan hasil penelitian bahwa stigma dan diskriminasi sosial dapat memiliki dampak yang mendalam terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan kelompok LGBTQ+. Pada beberapa studi yang telah dilakukan oleh menemukan bahwa individu LGBTQ+ yang tinggal di lingkungan dengan tingkat stigma yang tinggi memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan mood dan kecemasan.
Oleh karena itu sangat penting untuk adanya penerimaan dan dukungan sosial dengan membangun sistem dukungan yang ramah kepada semua gender baik dalam layanan kesehatan, pendidikan seperti yang telah dilakukan R.A Kartini dalam penyetaraan gender antara kaum laki-laki dan perempuan, maupun dalam ranah komunitas agar individu non-biner bisa merasakan validasi, dapat diterima, serta mendapatkan perawatan sesuai dengan kebutuhannya. Sehingga sangat berperan dalam menjaga kesehatan mental mereka.
Peran gender terhadap kesehatan mental memiliki peran masing-masing dimana kesehatan mental dipengaruhi oleh stigma dan perspektif dari lingkungan sosialnya. Kesehatan mental ini harus tercipta pada siapa saja baik perempuan, laki-laki, maupun pada gender non-biner. Mari saling mendukung kesehatan mental dengan saling menghargai pilihan hidup masing-masing.
Referensi:
Betterhelp. (2025). The Impact Of Gender Roles On Mental Health. https://www.betterhelp.com/advice/stereotypes/the-impact-of-gender-roles-on-mental-health/
Dr. Sanchari Sinha Dutta, Ph.D. (2022). Impact of Masculinity on Men's Health. https://www.news-medical.net/health/Impact-of-Masculinity-on-Mens-Health.aspx
Firsty Hestyarini. (2022). Kenali, 4 Gangguan Mental Terbanyak Pada Pria. https://rm.id/baca-berita/life-style/147084/kenali-4-gangguan-mental-terbanyak-pada-pria
Hasibuan, N. S. (2024). Tinjauan Literature: Dampak Stigma Dan Diskriminasi Terhadap Well-Being Dan Kesehatan Mental Pada Kelompok LGBTQ+. Jurnal Ilmiah Psikologi Insani, 9(11).
Jatmikanurhadi. (2023). Stigma Perempuan dalam Konstruksi Patriarki. https://sastraindonesia.upi.edu/2023/01/09/stigma-perempuan-dalam-konstruksi-patriarki/
Lundgren, R., Beckman, M., Chaurasiya, S. P., Subhedi, B., & Kerner, B. (2015). Whose turn to do the dishes? Transforming gender attitudes and behaviors among very young adolescents in Nepal. Gender & Development, 23(3), 515–531. https://doi.org/10.1080/13552074.2015.1096040
Sarmauli, S., Veronika, S., & Yuverdina, Y. (2024). Studi Gender Terhadap Ketidaksetaraan Gender d Indonesia. Indonesian Journal on Education (IJoEd), 1(2), 66-70
Seedat, S., Scott, K. M., Angermeyer, M. C., Berglund, P., Bromet, E. J., Brugha, T. S., ... & Kessler, R. C. (2009). Cross-national associations between gender and mental disorders in the World Health Organization World Mental Health Surveys. Archives of General Psychiatry, 66(7), 785–795. https://doi.org/10.1001/archgenpsychiatry.2009.36
Tantri Dewayani. (2021). Kartini dan Kesetaraan Gender, No One Left Behind. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13859/kartini-dan-kesetaraan-gender-no-one-left-behind.html
World Health Organization. (2022). Gender and women's mental health. https://www.who.int/mental_health/prevention/genderwomen/en/