
Hari dan Tanggal Kegiatan | : | Rabu, 14 Juni 2023 |
Tempat Kegiatan | : | Hotel Arrus, Semarang |
Peserta | : | Dinkes Kota, Fasyankes, Management PKBI, PL dan YKP Bali |
Epidemi penularan virus HIV di Indonesia sampai memasuki tahun 2023 ini masih tetap
menjadi sebuah permasalahan dalam porses perjalanan program penanggulangan HIV/AIDS
yang dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI sebagai penanggung jawab dalam tatanan
pelaksanaan baik secara tehknis ataupun non tehknis. Melalui Permenkes No. 23 Tahun 2022
kementerian Kesesahatan banyak sekali mengatur terkait upaya dan cara pencegahan dengan
menetapkan target 95% pengujian dan pengobatan serta 95% orang yang berisiko HIV
menggunakan pencegahan kombinasi, dan ini merupakan salah satu target yang ingin dicapai
pada tahun 2025. Kemudian adanya program fast track dimana Kementerian Kesehatan meminta
semua Dinas Kesehatan baik provinsi ataupun Kota/Kabupaten untuk bisa menindaklanjuti
program tersebut dengan cara mendorong fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) kota/kab di
Indonesia untuk bisa meningkatkan akses tes HIV serta pencegahan HIV yang mana ini masuk ke
dalam Standart Pelayanan Minimal (SPM). SPM merupakan ketentuan mengenai jenis dan mutu
pelayanan dasar dibidang kesehatan yang mana setiap warga Negara ber Hak memperoleh
pelayanan yang minimal, dengan adanya SPM tsb maka fasyankes wajib untuk bisa memenuhi
target yang diberikan, dan target itu diantaranya dengan melakukan pemeriksaan kepada
kelompok berisiko atau seseorang yang memiliki risiko tinggi (Risti) terpapar virus HIV
dikarenakan perilaku berisikonya. Kelompok berisiko ini merupakan kelompok atau komunitas
yang masuk dalam target intervensi program penanggulangan HIV yaitu, Lelaki Seks Lelaki
(LSL), Transgender/Waria (TG) dan People Who Injecting Drug (PWID) atau dikenal juga
dengan istilah Pengguna Narkoba Suntik (PENASUN) dimana komunitas ini merupakan
kelompok dampingan yang harus di intervensi karena mereka memiliki tingkat risiko dalam
penularan HIV melalui hubungan seks yang berisiko dan juga penggunaan jarum suntik yang
tidak steril atau bergantian, dan dengan upaya cakupan tes HIV serta pencegahan HIV,
pengenalan serta penerapan metode baru seperti Skrining HIV Mandiri (SHM) dan juga
Profilaksis Pra Pajanan (PrEP) ini yang coba ditawarkan kepada kelompok dampingan yang
memiliki risiko tinggi dalam penularan virus baru HIV. Sesuai dengan rekomendasi WHO
tentang PrEP, Rejimen ARV berbasis Tenofovir (TDF) ini harus ditawarkan sebagai pilihan
tambahan kepada orang yang memiliki risiko tinggi terhadap infeksi dan sebagai kombinasi dari
bagian pencegahan HIV. PrEP adalah penggunaan obat Antiretroviral (ARV) sebelum pajanan
HIV pada orang yang tidak terinfeksi HIV untuk mencegah masuknya virus penularan HIV, sejak
direkomendasikan pada tahun 2015 yang akhirnya pada tahun 2021 implementasi program
percontohan PrEP mulai diluncurkan oleh Kemeterian Kesehatan RI dengan dukungan dari
UNAIDS, Dalam proses percontohan profilaksis Pra pajanan (PrEP) ini sudah diawali dengan
diterbitkannya Petunjuk Teknis Tatalaksana, dan pelaksanaan program pelatihan bagi tenaga
kesehatan yang melibatkan unit PDP HIV di tiap Fasyankes dimana yang dipilih ditahap awal
sebanyak 12 kabupaten/kota di Indonesia, pelaksanaan tersebut akan ada lanjutan di 9 Kab/Kota
lainnya dengan melihat tingkat keberhasilan program percontohan PrEP di Kota/Kab yang sudah
berjalan. Dengan ada proses pelatihan dan penerapan yang dilakukan berdasarkan Petunjuk
teknis, namun ini bukan saja tidak adnaya kendala dan permasalahan yang ditemui, seperti dalan
hal belum tertariknya Kelompok Dampingan (KD) akan PrEP dan belum banyaknya informasi
ataupun sosisalisasi yang dilakukan, ini yang membuat KD belum banyak yang mengakses PrEP
dan memilih kondom sebagia alat pencegahan yang dirasa masih sangat efektif. Maka dengan
adanya dukungan hibah Global Fund melalui Yayasan Spiritia sebagai Principal Recipients (PR)
di Indonesia dan juga YPK eLSA sebagai SR (Sub Recipients) yang dipercaya mengawal area
Jawa Tengah mencoba untuk berupaya dalam melakukan strategi bersama untuk bagaimana
melakukan langkah pencehagan dengan mendorong mitra–mitranya Sub–Sub Recipients (SSR)
mememtakan persoalan persoalan di lapangan serta apa yang menjadi kebutuhan penting bagi
kelompok dampingan. PKBI kota Semarang sebagai Sub–Sub Recipients (SSR) yang ada di kota
Semarang dan mitra dari Spiritia dan YPK eLSA, diberi kepercayaan dalam mengawal intervensi
pada kelompok–kelompok yang masuk dalam intervensi program dengan cara melakukan
pendekatan baik secara kelompok ataupun individu agar dapat mengetahui kondisi dan situasi
yang ada pada kolompok dampingan LSL, TG/Waria dan PWID dengan tujuan untuk membantu
adanya perubahan perilaku serta terpenuhinya kebutuhan akan informasi. Oleh sebab itu PKBI
kota Semarang mencoba memfasilitasi permasalahan lapangan yang ada melalui sebuah kegiatan
pertemuan dan diskusi dengan melibatkan empat (4) fasyankes yang ditunjuk sebagai pemberi
layanan PrEP yang ada di kota Semarang serta menghadirkan Dinas kesehatan kota Semarang
dan juga perwakilan petugas lapangan, penerima manfaat/kelompok dampingan agar apa yang
menjadi permasalahan dapat dibahas dalam petemuan tersebut.


